Faktor "Balik Modal" dibalik Kasus Korupsi Indonesia
Jadi, ceritanya, diskusi ini berlangsung
malam hari ketika obrolan santai berubah menjadi obrolan serius tentang
korupsi. Awalnya, topik diskusinya adalah berita seorang wakil bupati sebuah
daerah yang melakukan korupsi padahal baru dilantik, lama-lama, topiknya
membahas faktor-faktor korupsi khususnya “balik modal”. Ya, sebagaimana kita
tau, dalam teori untung-rugi, kita bisa disebut untung kalau hasil yang didapat
melebihi modal yang digunakan. Ternyata, teori ini dapat diterapkan ke dalam dunia
politik loh.
Siapa sih yang gak mau punya
penghasilan tinggi, kerjanya keliatan nyantai (gak tau aslinya nyantai atau
enggak), dan dapat banyak fasilitas beserta tunjangan-tunjangan? Nah, salah satu
cara biar bisa punya penghasilan tinggi, tunjangan banyak, dan fasilitas lebih
yaitu jadi pejabat pemerintahan. Eh, tunggu dulu, kalau awalnya udah terkenal
sih pasti masyarakat udah tau dong walaupun belum tentu juga dipilih, apalagi
yang tadinya bukan siapa-siapa terus mau jadi pejabat, pasti perlu kampanye
dong biar ketenaran dan elektabilitasnya meningkat. Sesimpel itu? Enggak.
Emangnya sendirian yang kayak gitu? Para pesaingnya juga melakukan hal yang
sama, kampanye. Akhirnya, para calon ini saling beradu program dan saling menunjukkan
keberpihakannya kepada masyarakat agar dipilih pastinya.
Secara logika, semakin besar usaha
seseorang untuk melakukan kampanye, pasti butuh biaya yang makin besar juga. Jadi,
mereka bersaing untuk dipilih menjadi pejabat itu menggunakan uang yang gak
sedikit. Memang sih, setauku, partai politik juga memberi dana kampanye, tapi
kalau ingin terlihat lebih dari para pesaingnya tentu butuh biaya tambahan yang
dikeluarkan dari kantong sendiri. Uang kampanye sebanyak itu buat apa sih?
Macam-macam dong pastinya. Ada yang buat bikin ratusan atau ribuan kaos buat
para pendukung, bikin spanduk dan pasang baligho di pinggir jalan, uang makan
dan transport buat para pendukung, sewa tenda buat orasi, hingga salam tempel
atau bagi-bagi sembako gratis untuk masyarakat. (Halah gak usah pura-pura gak
lihat, masih ada kok yang suka bagi-bagi sembako gratis atau salam tempel)
Nah, dari paragraf di atas bisa
terlihat kan kalau mau jadi pejabat pemerintahan itu butuh modal yang gak
sedikit baik dari kantong partai maupun kantong si calonnya sendiri. Hal ini
lah yang kupikir menjadi salah satu faktor para oknum pejabat berani melakukan
korupsi. Kalau Cuma mengandalkan gaji resmi dan tunjangan, sedangkan keluarga
harus tetap makan plus gaya hidup mau gak mau ikut berubah (kan udah jadi
pejabat), kapan balik modalnya? Pernah kepikiran sampai sini? Kalau pernah,
kita satu frekuensi. Hehehe
Sekarang, mari kita bahas cara membantu
mengurangi potensi korupsi di Indonesia. Wuih berat ya kelihatannya. Dari
penjelasan tentang biaya kampanye di atas, sederhananya kita dapat mengurangi
potensi seseorang untuk korupsi dengan cara menghilangkan biaya kampanye yang
besar. Hah gimana caranya? Mari kita buka teori penanganan risiko (ku pernah
dapat ketika kuliah). Risiko bisa ditangani secara langsung dengan menghilangkan
penyebab (dalam hal ini biaya kampanye), menbiarkan risiko (gak mungkin dong,
kan kita mau menghilangkan korupsi, masa biaya kampanyenya dibiarkan), atau
memindahkan risiko (biaya kampanyenya dipindahkan). Hayo, mana solusi yang paling
layak dari ketiganya? Jawabannya, pasti yang ketiga lebih dapat diterapkan. Eh,
tapi dipindahkan kemana?
Aku mengusulkan pemindahan tanggung
jawab biaya kampanye dari yang tadinya ditanggung oleh partai politik dan para
calon pejabat, menjadi ditanggung oleh lembaga pemerintah (dalam hal ini yang
cocok adalah KPU biar sekalian gitu tugasnya ngurusin pemilu). Kalau biaya
kampanye diatur dan dikendalikan oleh lembaga khusus, para calon pejabat ini akan
mendapatkan jatah biaya kampanye yang sama. Tapi kan, nanti bisa diam-diam pake
biaya sendiri biar lebih unggul? Eits, kalau soal itu bisa dibuatkan aturan “barangsiapa
yang tertangkap tangan melakukan kampanye dengan biaya sendiri maka akan diberi
sanksi berupa peringatan blablabla dengan sanksi terberat dicoret dari daftar
calon pejabat”. Emang bisa? Harusnya sih bisa dong, kan KPU yang mengurus peraturan
tentang pemilu. Dengan peraturan yang diterbitkan oleh KPU, serta biaya
kampanye yang dikelola dan dibagikan kepada para calon dengan jumlah yang sama rata
oleh KPU, aku cukup yakin solusi ini bisa membantu negara ini dalam mengurangi
jumlah koruptor di masa yang akan datang. Sekarang tantangannya yaitu maukah
sistem kampanye yang sudah ada saat ini diubah oleh mereka-mereka yang sedang menjabat?
NAH ITU DIA, JANGAN TANYA AKU.
Gambar: Freddie Collins |
Tidak ada komentar: