Faktor "Balik Modal" dibalik Kasus Korupsi Indonesia


Kita pasti udah tau lah ya ada banyak banget kasus korupsi di negara ini. Menurutku, banyak faktor yang membuat para pejabat berani melakukan korupsi. Faktor-faktor tadi mungkin dapat berupa ketidaktahuan tentang apa aja sih tindakan yang diklasifikasikan sebagai korupsi, rasa gak enak dengan pihak lain seperti keluarga atau orang yang telah berjasa dalam hidup mereka, atau belum tercukupinya uang untuk mengganti modal yang dulunya digunakan untuk kampanye agar ia dipilih sebagai pejabat. Nah, khusus untuk faktor yang ku sebutkan terakhir, aku punya pengalaman berdiskusi soal ini, jadi di paragraf-paragraf selanjutnya ku akan cerita tentang diskusi tersebut plus solusi yang diajukan seperti apa. Oh iya, opini ini ditulis dari sudut pandang orang awam, soalnya aku bukan lulusan ilmu politik, hukum, atau ilmu yang terkait langsung lainnya. So, kalau tidak setuju atau tidak tertarik, boleh banget ditinggalkan. Tapi, kalau penasaran, silakan dilanjut aja bacanya, siapkan kopi dan cemilan bila perlu. hehehe

Jadi, ceritanya, diskusi ini berlangsung malam hari ketika obrolan santai berubah menjadi obrolan serius tentang korupsi. Awalnya, topik diskusinya adalah berita seorang wakil bupati sebuah daerah yang melakukan korupsi padahal baru dilantik, lama-lama, topiknya membahas faktor-faktor korupsi khususnya “balik modal”. Ya, sebagaimana kita tau, dalam teori untung-rugi, kita bisa disebut untung kalau hasil yang didapat melebihi modal yang digunakan. Ternyata, teori ini dapat diterapkan ke dalam dunia politik loh.

Siapa sih yang gak mau punya penghasilan tinggi, kerjanya keliatan nyantai (gak tau aslinya nyantai atau enggak), dan dapat banyak fasilitas beserta tunjangan-tunjangan? Nah, salah satu cara biar bisa punya penghasilan tinggi, tunjangan banyak, dan fasilitas lebih yaitu jadi pejabat pemerintahan. Eh, tunggu dulu, kalau awalnya udah terkenal sih pasti masyarakat udah tau dong walaupun belum tentu juga dipilih, apalagi yang tadinya bukan siapa-siapa terus mau jadi pejabat, pasti perlu kampanye dong biar ketenaran dan elektabilitasnya meningkat. Sesimpel itu? Enggak. Emangnya sendirian yang kayak gitu? Para pesaingnya juga melakukan hal yang sama, kampanye. Akhirnya, para calon ini saling beradu program dan saling menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat agar dipilih pastinya.

Secara logika, semakin besar usaha seseorang untuk melakukan kampanye, pasti butuh biaya yang makin besar juga. Jadi, mereka bersaing untuk dipilih menjadi pejabat itu menggunakan uang yang gak sedikit. Memang sih, setauku, partai politik juga memberi dana kampanye, tapi kalau ingin terlihat lebih dari para pesaingnya tentu butuh biaya tambahan yang dikeluarkan dari kantong sendiri. Uang kampanye sebanyak itu buat apa sih? Macam-macam dong pastinya. Ada yang buat bikin ratusan atau ribuan kaos buat para pendukung, bikin spanduk dan pasang baligho di pinggir jalan, uang makan dan transport buat para pendukung, sewa tenda buat orasi, hingga salam tempel atau bagi-bagi sembako gratis untuk masyarakat. (Halah gak usah pura-pura gak lihat, masih ada kok yang suka bagi-bagi sembako gratis atau salam tempel)

Nah, dari paragraf di atas bisa terlihat kan kalau mau jadi pejabat pemerintahan itu butuh modal yang gak sedikit baik dari kantong partai maupun kantong si calonnya sendiri. Hal ini lah yang kupikir menjadi salah satu faktor para oknum pejabat berani melakukan korupsi. Kalau Cuma mengandalkan gaji resmi dan tunjangan, sedangkan keluarga harus tetap makan plus gaya hidup mau gak mau ikut berubah (kan udah jadi pejabat), kapan balik modalnya? Pernah kepikiran sampai sini? Kalau pernah, kita satu frekuensi. Hehehe

Sekarang, mari kita bahas cara membantu mengurangi potensi korupsi di Indonesia. Wuih berat ya kelihatannya. Dari penjelasan tentang biaya kampanye di atas, sederhananya kita dapat mengurangi potensi seseorang untuk korupsi dengan cara menghilangkan biaya kampanye yang besar. Hah gimana caranya? Mari kita buka teori penanganan risiko (ku pernah dapat ketika kuliah). Risiko bisa ditangani secara langsung dengan menghilangkan penyebab (dalam hal ini biaya kampanye), menbiarkan risiko (gak mungkin dong, kan kita mau menghilangkan korupsi, masa biaya kampanyenya dibiarkan), atau memindahkan risiko (biaya kampanyenya dipindahkan). Hayo, mana solusi yang paling layak dari ketiganya? Jawabannya, pasti yang ketiga lebih dapat diterapkan. Eh, tapi dipindahkan kemana?

Aku mengusulkan pemindahan tanggung jawab biaya kampanye dari yang tadinya ditanggung oleh partai politik dan para calon pejabat, menjadi ditanggung oleh lembaga pemerintah (dalam hal ini yang cocok adalah KPU biar sekalian gitu tugasnya ngurusin pemilu). Kalau biaya kampanye diatur dan dikendalikan oleh lembaga khusus, para calon pejabat ini akan mendapatkan jatah biaya kampanye yang sama. Tapi kan, nanti bisa diam-diam pake biaya sendiri biar lebih unggul? Eits, kalau soal itu bisa dibuatkan aturan “barangsiapa yang tertangkap tangan melakukan kampanye dengan biaya sendiri maka akan diberi sanksi berupa peringatan blablabla dengan sanksi terberat dicoret dari daftar calon pejabat”. Emang bisa? Harusnya sih bisa dong, kan KPU yang mengurus peraturan tentang pemilu. Dengan peraturan yang diterbitkan oleh KPU, serta biaya kampanye yang dikelola dan dibagikan kepada para calon dengan jumlah yang sama rata oleh KPU, aku cukup yakin solusi ini bisa membantu negara ini dalam mengurangi jumlah koruptor di masa yang akan datang. Sekarang tantangannya yaitu maukah sistem kampanye yang sudah ada saat ini diubah oleh mereka-mereka yang sedang menjabat? NAH ITU DIA, JANGAN TANYA AKU.
Gambar: unsplash-logoFreddie Collins

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.