Judul Buku : Hidup Berawal Dari Mimpi
Pengarang : Fahd Djibran, Bondan Prakoso & Fade2Black
Penerbit : Kurniaesa Publishing
Kota Terbit : Jakarta
Tanggal Terbit : Juni 2011
Cetakan : Pertama
Tebal Buku : 232 Halaman + Cover

Buku ini memuat 12 kisah fiksi yang memiliki tema masing-masing. Keduabelas kisah ini membahas cerita yang terkandung dalam beberapa lagu yang dipopulerkan oleh Bondan & Fade2Black yang sukses menggebrak belantika musik tanah air.

Salah satu kisah yang paling menarik diantara kisah lainnya dalam buku ini adalah kisah yang berjudul “Cahya Cinta Sejati”. Kisah ini menceritakan tentang seseorang bernama Acep yang sedang mengenang peristiwa yang cukup menyedihkan yang menimpa dirinya 10 tahun yang lalu, atau tepatnya pada tahun 1992. Saat itu, Acep tinggal bersama ibunya di sebuah rumah sederhana di desa Batunungku. Mereka hidup di tengah kemiskinan. Ayahnya meninggal dunia pada saat ia masih berusia 4 tahun.

Pertengahan bulan Desember tahun 1992. Desa Batunungku sedang diguyur hujan untuk pertama kalinya setelah musim kemarau yang berkepanjangan. Masyarakat desa merayakan turunnya hujan tersebut dengan gembira, begitu pula dengan Acep dan teman-temannya. Ia diajak oleh teman-temannya untuk pergi bermain di tengah hujan yang mengguyur desa itu. Ibunya melarang ia untuk pergi bermain karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan menginginkan ia untuk tetap tinggal menemani ibunya. Tetapi dengan bujukan Acep, akhirnya ibunda Acep pun mempersilakan anaknya untuk bermain bersama teman-temannya di tengah guyuran air hujan sembari berpesan agar anaknya tidak bermain terlalu jauh dari desanya.

Acep merayakan turunnya hujan tersebut bersama teman-temannya dengan sangat gembira. Tanpa sadar, mereka telah jauh meninggalkan desanya. Tidak lama, hujan yang menyegarkan tersebut berubah menjadi badai petir. Mereka berteduh di sebuah masjid untuk berlindung dari hujan yang disertai angin kencang tersebut. Dari dalam masjid, mereka melihat seseorang yang meneriakkan kalimat “Sagala nyawa, layang ka sampurna” yang artinya “semua yang bernyawa akan mati-pergi menuju kesempurnaan” berulang kali sembari berhujan-hujanan di tengah badai petir. Tiba-tiba Acep teringat kembali pada pesan ibunya. Perasaan takut dan cemas mulai menyelimuti dirinya.

Menjelang petang, hujan badai pun akhirnya reda. Acep dan teman-temannya bergegas pulang ke desa Batunungku. Mereka berpisah di jalan utama desa untuk pulang ke rumah masing-masing. Belum sampai di rumah, Acep melihat banyak sekali orang yang berkerumun di depan rumahnya. Ia mendekat dan mulai melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Rumahnya hancur tertimpa sebuah pohon besar yang tumbang akibat badai. Seorang tetangganya menjelaskan bahwa ibunya telah tiada. Acep melihat ibunya terbaring tak bernyawa berselimut kain putih. Ia benar-benar menyesal dan merasa sangat bersalah telah meninggalkan ibunya sendirian dan lebih mementingkan ajakan teman-temannya daripada nasihat ibunya.